Apa Itu Stoisisme dan 3 Praktek Untuk Memulainya

Stoisisme adalah sebuah aliran filosofi kuno yang ditemukan sekitar tahun 300 sebelum masehi oleh seorang yang bernama Zeno dari Citium.

Zeno adalah seorang mantan pedagang yang cukup "beruntung" karena telah mengalami kehilangan segalanya ketika kapalnya mengalami kecelakaan. Alasan mengapa ia dikatakan beruntung adalah karena setelah melalui kesengsaraan yang sementara, ia menjadi sosok penemu salah satu dari aliran filosofi terbesar sepanjang sejarah. Nama aliran stoik diambil dari kata yunani yang berarti teras — Stoa.

Ketika Zeno memulai sekolah filosofinya, dia tidak memiliki uang untuk membeli sebuah gedung. Plato memiliki akademi, Aristoteles memiliki Lyceum, tetapi para pengikut Zeno bertemu untuk membahas filosofi mereka di bawah Stoa Poikile, yaitu barisan tiang yang dihiasi dengan adegan pertempuran mistis dan sejarah, di sisi utara Agora di Athena. Siapapun dipersilahkan untuk mendengarkan dan memperdebatkan gagasan, yang menciptakan kelompok Stoa yang paling pertama.

Stoisisme dan Kebahagiaan

Filosofinya adalah hal yang bisa dipraktekkan, dan berfokus pada sebuah pertanyaan: Bagaimana cara kita menemukan jalan menuju kebahagaiaan (yang disebut oleh para stoik sebagai eudaimonia)?

Ini adalah filosofi yang diperuntukkan untuk setiap pria dan wanita di dunia, tidak hanya untuk aristokrat berpendidikan, seorang filfuf yang tinggal di aula buku, atau orang bijak yang berdiam di gunung saja.

Bagi para stoik, praktek yang dilakukan untuk mencapai eudaimonia (kebahagiaan) didasarkan pada beberapa prinsip inti:

1. Kemampuan untuk melihat diri kita, dunia, dan manusia secara objektif dan menerima sifat mereka begitu adanya.

2. Disiplin utnuk mencegah diri kita agar tidak dikendalikan oleh hasrat akan kesenangan atau ketakutan terhadap penderitaan.

3. Membuat perbedaan antara apa yang ada dapat kita kendalikan, dan apa yang tidak. Dengan menggunakan informasi ini, kita dapat bertindak atas apa yang bisa kita tindaklanjuti, dan kita mengabaikan apa yang tidak bisa.

Filosofi Masyarakat

Filosofi stoa digunakan oleh siapa saja dari para tentara zaman dahulu, hingga seorang kaisar Marcus Aurelius. Filosofi ini tumbuh menjadi salah satu filosofi Yunani dan Roma yang paling menonjol. Faktanya, filosofi stoa hanya dapat disaingi dan kemudian disusul oleh oleh agama Kristen.

Jadi mengapa filosofi stoa begitu populer diantara masyarakat luas? Alasannya hanya satu, karena itu berhasil.

Saat itu adalah suatu masa dimana perang, kelaparan, kematian, wabah dan banyak ancaman dari luar lainnya yang lebih sering dibanding sekarang. Potensi penderitaan sangatlah besar, terutama untuk penderitaan yang disebabkan oleh kejadian eksternal. Dan situasi ini sangatlah tepat bagi filosofi stoa untuk berkembang.

Para stoik mengajarkan bahwa kita tidak terganggu oleh kejadian, melainkan oleh bagaimana kita meresponnya.

Mereka juga menerangkan bahwa di luar sana hanya sedikit hal yang berada dalam kendali kita. Hanya pikiran, kepercayaan, persepsi, dan tindakan kita. Itu saja. Berikut adalah dua pemikirannya yang penting untuk kita ketahui.

  1. Yang pertama adalah itu meminta kita untuk mengambil kendali atas bagaimana kita melihat segala sesuatu, karena ini adalah penyebab sebenarnya dari penderitaan. Daripada menyalahkan dunia atau orang lain karena situasi yang tidak diinginkan terjadi, kita diberdayakan untuk menerima bahwa kita sendiri yang menciptakan kebahagiaan kita. Bukan orang lain.
  2. Yang kedua adalah itu memisahkan antara apa yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Banyak orang menderita karena mereka merasa marah, atau mencoba untuk mengendalikan sesuatu yang kita tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikannya. Dan tentu saja ini bisa membuat kita merasa tidak berdaya, kesal, atau marah.

Bagaimanapun, ketika kita berfokus kepada hal yang bisa kita kendalikan, kita akan menjadi seorang yang lebih efekteif, efisien, kita menyelesaikan masalah lebih mudah, serta lebih sedikit penderitaan. Kuncinya adalah menerima bahwa hanya sedikit hal di dunia ini yang dapat kita kendalikan.

Praktek Filosofi Stoa

1. Dikotomi Kendali

Untuk mencapai kebebasan dan kebahagiaan, kita harus memahami kebenaran dasar: beberapa hal dalam hidup bisa kita kendalikan, dan lainnya tidak.

Yang ada dalam kendali kita adalah opini, aspirasi, hasrat, dan hal lainnya yang bisa kita tolak. Kita selalu memiliki pilihan mengenai isi dan karakter kehidupan batin kita.

Hal yang tidak berada dalam kendali kita adalah sisanya. Kita harus mengingat bahwa hal-hal itu adalah eksternal, dan bukan urusan kita. — Epictetus

Konsep kendali adalah inti dari praktek filosofi stoa, dengan memahaminya akan membuat kita dapat melihat lebih jelas area dalam hidup kita yang dapat kita pengaruhi, dan apa yang berada di luar kendali kita. Hal ini memberi kita kemampuan untuk berhenti membuang waktu dan energi terhadap sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Serta di saat yang sama kita juga bisa lebih terfokus terhadap apa yang bisa kita kendalikan.

Bagaimanapun, ketika ketidakpahaman mengenai dikotomi kendali ini bisa menimbulkan perasaan frustasi, tak berdaya, depresi, dan ketidakberartian ketika kita mencoba untuk mengendalikan hal eksternal yang berada di luar kendali kita.

Konsep kendali ini bukan merupakan suatu hal yang unik bagi kaum stoik saja, ia telah menjelma di berbagai budaya sepanjang sejarah sebagai metode untuk menjalani kehidupan yang sepenuhnya, dari umat Buddha, Feodal Jepang, dan Yunani Kuno.

Para stoik percaya bahwa kunci yang paling mendasar untuk mengurangi penderitaan dan menjalain hidup yang lebih baik adalah dengan membedakan secara jelas apa yang bisa kita kendalikan dan apa yang tidak. Ketika kita telah mengerti perbedaannya kita bisa mulai memfokuskan energi dan waktu kita pada sesuatu yang bisa dikendalikan, serta menerima apa yang tidak bisa kita kendalikan.

2. Memento Mori

Memento Mori adalah sebuah praktek merenungkan kematian kita sendiri, atau mengingat bahwa suatu hari kita akan mati. Dalam suratnya, Seneca menjabarkan keuntungan dari merenungkan kematian:

Mari kita persiapkan pikiran kita seolah-olah kita berada di akhir kehidupan kita. Biarkan diri kita tidak menunda hal apapun. Mari kita menyeimbangkan buku kehidupan setiap harinya. Orang yang memberikan sentuhan akhir pada kehidupan mereka setiap hari tidak akan pernah kekurangan waktu.

Pemikiran ini mungkin terasa aneh bagi mereka yang baru pertama kali menemukannya. Mengapa kita ingin memikirkan tentang kematian kita sendiri? Pada kenyataannya, ada manfaat yang nyata.

Filsuf Stoik Epictetus merekomendasikan agar kita senantiasa mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita akan mati. Dia melakukan ini karena ketika kita mengetahui bahwa waktu yang kita miliki terbatas, kita menghargai setiap momennya dengan lebih baik. Ketika kita bersama orang yang kita sayang, kita tidak tahu berapa banyak momen seperti itu yang akan kita alami, jadi kita menjadi lebih fokus dan bersyukur.

Konsep Memento Mori mengambil sesuatu yang merusak seperti kematian dan mengubahnya menjadi alat untuk menikmati hidup dengan lebih baik.

Kaisar Roma, Marcus Aurelius mempraktekkan Memento Mori untuk membantu menuntun tindakannya. Dalam jurnalnya, Meditations, dia menulis:

Kita bisa meninggalkan hidup sekarang. Biarkan hal itu menentukan apa yang kita lakukan, katakan, pikirkan. 

Filosofi Stoa tidak melihat kematian sebagai sebuah konsep menyakitkan dan harus dihindari. Itu merupakan bagian hidup yang tidak dapat dihindari dan kita harus lebih menerima dan terbiasa dengannya agar lebih menghargai kehidupan. 

Memento Mori membantu kita memprioritaskan apa yang benar-benar penting tetapi juga mengingatkan bahwa waktu yang kita miliki itu terbatas.

3. Amor Fati

Para stoik menggunakan Amor Fati untuk menerima dunia di sekelilingnya dan mencegah ketenangan pikirannya diganggu oleh kejadian yang berada di luar kendalinya.

Amor Fati jika diartikan berarti mencintai takdir.

Takut akan perubahan? Tapi apa yang bisa hidup tanpanya? Apa yang membuatnya lebih dekat dengan jiwa dunia? Bisakah kita mandi air panas dan biarkan kayu bakarnya tetap seperti semula? Memakan makanan tanpa mengubahnya? Dapatkah proses penting berlangsung tanpa adanya suatu perubahan? — Marcus Aurelius

Dunia ini berubah. Segala hal yang telah terjadi, dari awal permulaan waktu hingga sekarang telah membawa kita kepada situasi saat ini dimana kita berada. Tidak ada cara lain.

Diantara dulu dan sekarang kehidupan terus berubah, entah itu perubahan yang bisa membuat diri kita menjadi lebih baik atau lebih buruk, Namun itu selalu berada di luar kendali kita.

Para stoik memaparkan bahwa kita harus mencintai takdir kita. Terima bahwa itu adalah bagian dari kehidupan, lakukan apa yang bisa kita lakukan dengan kekuatan kita dan sisanya biarkan itu terjadi. Karena bagaimanapun, takdir telah memberi kita sebuah pengalaman yang berharga.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama