Setiap pagi, samurai berkomitmen ulang terhadap kematian. Dalam meditasi paginya, seorang samurai membayangkan dirinya dibunuh, lagi dan lagi. Dicabik oleh panah, pedang, dan tombang. Terbawa oleh ombak yang sangat tinggi. Terbakar oleh api. Terjatuh dari ketinggian. Ia hidup dan menghidupkan ini dalam pikirannya hingga hal itu tidak mengganggunya sama sekali.
Ia tidak memiliki pilihan selain melakukan hal ini. Setiap hari. Karena saat ia keluar dari pintu, dirinya dikelilingi oleh banyak musuh. Ia dikelilingi oleh kematian. Inilah hidup seorang samurai.
Latihan ketat seorang samurai dimulai sejak masa kecilnya. Latihan fisik, belajar literatur, matematika, puisi, dan disiplin spiritual adalah bidang yang harus pertama dikuasai sejak kecil. Ketika sudah cukup umur, anak itu kemudian belajar Kendo, yaitu seni berpedang asal jepang.
Untuk memastikan perkembangannya secara menyeluruh, latihan beladirinya dilengkapi dengan mempelajari Zen Buddhisme dan kode moral samurai. Prajurit muda diharapkan dapat menanamkan dirinya dengan nilai Bushido — yaitu sebuah prinsip seorang samurai yang terdiri atas 7 hal yang harus dipegang teguh.
Gi — Keadilan, Kejujuran
Kejujuran adalah salah satu kekuatan untuk menentukan suatu tindakan sesuai dengan alasan dan tanpa ada keraguan di dalamnya. Untuk mati ketika mati adalah benar. Untuk menyerang ketika menyerang adalah benar. Kejujuran adalah tulang yang memberikan ketegasan. Tanpa tulang kepala tidak akan ada di atas tulang belakang, begitu juga dengan kaki dan tangan yang tidak dapat bergerak jika tidak ada tulang. Tanpa adanya nilai kejujuran, talenta atau latihan sekeras apapun tidak akan membuat seseorang menjadi samurai.
Mengaplikasikan prinsip Bushido Gi ke dalam hidup kita tidaklah semudah mematuhi peraturan hukum di masa modern. Itu mengharuskan kita untuk merenungkan apa itu keadilan dan tetap menjunjung tinggi nilai karakter yang terhormat di tengah korupsi dan kekerasan.
Seorang samurai yang hidup dengan prinsip itu akan dianugerahi dengan gelar Gishi — Seorang pria yang jujur, dan akan diberikan posisi jabatan yang tinggi.
Yūuki — Keberanian Heroik
Untuk menunjukkan keberanian setiap saat selama hidup, baik saat keadaan bahaya maupun tidak. Keberanian yang dimaksud dalam prinsip ini adalah jika diaplikasikan demi kebenaran dan keadilan. Keberanian adalah melakukan apa yang benar. Untuk mengetahui apa yang benar dan tidak melakukan apapun adalah sebuah kepengecutan.
Keberanian secara sederhana sering disalahartikan oleh para remaja. Bukannya malah menjadi sebuah tindakan yang termasuk ke dalam prinsip Bushido, melainkan tindakan yang merupakan bentuk dari pelampiasan ego dan emosi. Hanya keberanian yang digerakkan oleh kebenaran dan keadilanlah yang dapat dikategorikan sebagai Yuuki.
Jin — Baik Hati dan Penyayang
Dibekali dengan kekuatan untuk membunuh, samurai diharapkan untuk dapat menunjukkan sikap baik hati dan juga penyayang. Karena ini adalah sifat tertinggi yang dimiliki oleh manusia.
Samurai merupakan perwujudan hidup dari hukum tuan mereka, namun mereka juga harus mematuhi pengetahuan mereka sendiri tentang kebaikan. Samurai menyebut hal ini sebagai Bushi no nasaké — yaitu kelembutan seorang pejuang. Hal itu berarti bahwa seorang samurai memiliki belas kasihan yang tidak didasari oleh belas kasihan buta, melainkan karena keadilan. Selain itu belas kasih yang ditunjukkan juga tidak hanya di dalam hati saja, melainkan diwujudkan dalam sebuah tindakan untuk menyelamatkan atau membunuh jika diperlukan.
Rei — Kesopanan
Pejuang sejati tidak memiliki alasan untuk kejam. Mereka tidak perlu membuktikan kekuatan mereka. Para pejuang tidak hanya dihormati karena kekuatannya dalam pertarungan, tetapi juga dari sikapnya terhadap orang lain. Kekuatan sejati seorang pejuang tampak nyata ketika datang masa-masa sulit.
Samurai percaya bahwa kesopanan harus ditunjukkan dengan rasa menghormati perasaan orang lain. Namun itu akan menjadi sebuah prinsip yang buruk jika hal itu dilakukan karena takut melanggar aturan yang dianggap benar oleh orang banyak.
Makoto — Ketulusan
Ketika samurai mengatakan bahwa ia akan melakukan sebuah tindakan, hal itu pasti akan dilakukan. Tidak ada yang dapat menghentikannya untuk melakukan apa yang sudah dikatakannya. Dia tidak harus mengucapkan kata-katanya, tidak juga harus berjanji. Karena bagi samurai, berbicara dan melakukan adalah tindakan yang sama.
Ketulusan harus diterapkan dalam segala hal yang dilakukan oleh samurai, yang tanpanya akan menjadi sebuah prinsip yang disebut dengan Kyorei — Kekosongan.
Meiyo — Kehormatan
Rasa kehormatan; sebuah kesadaran yang jelas mengenai martabat dan nilai pribadi menjadi ciri khas dari seorang samurai. Ia lahir dan dibesarkan untuk menghargai tugas dan hak istimewa yang dimilikinya sebagai seorang samuari. Rasa takut akan aib menggantung bagai sebuah pedang di atas kepala setiap samurai.
Rasa hormat seorang samurai dapat dilihat jelas dari ritual bunuh dirinya. Bagi samurai tidak ada namanya menyerah dalam pertarungan. Jika samurai tertangkap, Ia akan melakukan seppuku, memilih untuk merobek perutnya dan mengeluarkan isi perutnya sendiri dibanding jatuh ke tangan musuh. Bagi samurai, kehormatan jauh lebih bernilai dibanding diri mereka sendiri.
Chūgi — Loyalitas
Seseorang yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dilakukannya, dikatakannya, dan segala konsekuensi yang diakibatkan oleh hal tersebut. Samurai sangatlah setia kepada semua orang yang ia pedulikan. Kepada setiap orang yang menjadi tanggung jawabnya, dia tetap ada untuknya.
Loyalitas yang dimiliki oleh samuraii sama dengan insting loyalitas yang dimiliki oleh hewan — bahkan ketika dihadapkan dengan situasi dan bahaya yang ekstrim sekalipun, ia tek pernah meninggalkannya.
Prinsip Samurai dan Masa Sekarang
Mengikuti prinsip seorang samuari bukanlah merupakan tugas yang kasar, hanya karena setiap prinsip dibawa ke nuansa yang ekstrim. Bagaimanapun, cara hidup seorang samurai tidak hanya mengajarkan kita untuk hidup di masa yang ekstrim, tetapi juga untuk benar-bernar merasa hidup.
Tidak ada yang lebih penting dalam hidup selain apa yang kita lakukan sekarang ini. Seluruh hidup seseorang tak lebih dari sebuah momen yang bertumpukkan, berulang kali. Setelah tercerahkan akan hal ini, pejuang tidak perlu merasa khawatir lagi, karena dia menyadari bahwa ia hanya harus hidup di masa sekarang dengan sebaik-baiknya. - Yamamoto Tsunetomo
Hal ini sejalan dengan doktrin ontologis presentisme, di mana masa lalu dan masa depan hanyalah kompilasi dari masa kini. Bagaimanapun, hidup adalah sekarang. Tidak akan ada masa dimana hidup kita bukanlah sekarang, dan tidak akan pernah ada. Yang ada hanyalah sekarang, masa depan hanyalah masa sekarang lainnya untuk dijalani ketika saatnya tiba. Jadi hidup seperti sekarang adalah semua yang kita miliki, karena memang benar seperti itu.