Panta rhei kai uden atau "Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap", adalah sebuah pemikiran Heraclitus pada 2.500 tahun yang lalu. Ini adalah sebuah ciri utama dari realitas yaitu tidak ada sesuatu apapun yang tetap sama.
Heraclitus salah satu filsuf yang hidup sezaman dengan filsuf terkemuka lainnya seperti Pythagoras atau Xenophanes. Ia berpendapat bahwa dunia berada dalam keadaan yang terus berubah. Jika kita memikirkannya, ini adalah sebuah pemikiran yang mendalam meskipun terkesan sederhana.
Bayangkan berdiri di sebelah sungai. Kita melihat sebuah arus air mengalir deras. Kemudian mata kita melihat ada sebuah ranting pohon yang mengambang terbawa air. Kita mengamatinya mengikuti sebuah arus hingga kemudian hilang dari pandangan kita.
Apa yang kita lihat adalah sebuah tarian alam yang berlangsung di depan mata kita. Namun dibalik semua kerumitan itu, ada beberapa proses yang mendasari munculnya pertunjukan tersebut.
Jika kita memecah air menurut bagian-bagian penyusunnya, kita akan temukan sebuah formula yang sederhana yaitu H2O. Dua atom hidrogen terhubung ke atom oksigen melalui ikatan kovalen. Pola ini berulang dengan sendirinya, hingga membentuk sungai, danai. atau samudera yang luas.
Kita tidak pernah menyebrangi sungai yang sama dua kali. — Heraclitus
Dilihat sekilas, tampak seakan-akan semuanya selalu sama. Tetapi, tidak semua seperti kelihatannya. Seperti yang diketahui oleh Heraclitus, kita tidak pernah melewati sungai yang sama dua kali.
Hidup Membutuhkan Sebuah Cermin
Seorang filsuf paling pesimis yang bernama Arthur Schopenhauer pernah mengatakan bahwa untuk pengembangan diri kita memerlukan satu hal: cermin.
Untuk pengembangan diri kita memerlukan cermin. — Arthur Schopenhauer
Cermin diperlukan bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk memenuhi maksim delfik yang paling terkenal yaitu 'kenali dirimu'. Cermin dalam hal ini adalah sebagai mata pikiran yang mundur selangkan dan melihat segala sesuatu yang terlihat dari kejauhan. Dengan kata lain, metakognisi.
Kunci untuk mendekonstruksi istilah ini adalah berada pada awalan: meta. Ini menyiratkan untuk mengambil pandangan dari jarak lebih tinggi, menganalisa apa yang diperlukan untuk melampaui pencapaian saat ini. Hal ini yang akan membuat kita belajar dari situasi yang ada, untuk kemudian meningkatkannya.
Hidup adalah Perubahan
Di sekitar waktu yang sama dengan Heraclitus, di belahan dunia yang jauh, ada seorang pria lain yang sedang berjalan di jalan kebijaksanaannya. Ia adalah Siddharta Gautama, yang lebih dikenal sebagai Buddha.
Realisasi utama dari Buddhisme adalah bahwa hidup ini penuh dengan penderitaan. Sama seperti air adalah kumpulan molekul H2O yang sederhana, bahan penyusun dari pengalaman hidup adalah rasa sakit.
Hidup adalah rangkaian penderitaan yang panjang, diselingi dengan kebahagiaan. Ini adalah sungai penderitaan. Masukkan gagasan tentang ketidakkekalan. Benda tidaklah konstan. Tidak ada keabadian, yang ada hanya ketidakkekalan. Mencintai sebuah momen adalah apa yang menyebabkan penderitaan.
Selama ada rasa mencintai terhadap sesuatu yang tak stabil, tak bisa diandalkan, selalu berubah dan tidak permanen, di situ akan ada penderitaan. — Rupert Gethin
Namun kita cukup terhibur dengan kenyataan bahwa rasa sakit yang kita alami hanya sementara. Kita bisa melihat ke depan, dan terlihat cahaya di ujung terowongan.
Bukanlah sebuah kebetulan bahwa jenis pemikiran seperti ini merupakan akar dari kemampuan kita untuk mengatasi situasi yang sulit. Dalai Lama pun berpikir demikian,
Akhirnya, virus ini akan berlalu, seperti yang telah saya lihat perang dan ancaman mengerikan lainnya berlalu dalam hidup saya.
Sebagai reinkarnasi dari bodhisatwa, Dalai Lama telah melihat banyak hal datang dan pergi. Dia mengambil sudut pandang yang jauh. Perubahan adalah satu-satunya yang konstan. Sungguh menakjubkan bagaimana perubahan kecil dalam pola pikir ini dapat mempengaruhi kesejahteraan kita secara keseluruhan.
Hidup Berjalan Mengikuti Arus
Zamannya Heraclitus dan Buddha adalah awal dari Zaman Aksial. Diciptakan oleh filsuf dari Jerman Karl Jaspers, istilah ini mengacu pada sebuah periode sejarah umat manusia ketika padndangan beralih ke dalam. Bukannya menggunakan hal supranatural sebagai penjelasan untuk segalanya, beberapa individu tertentu mencoba bernalar tentang alam sekitar. Itu adalah lahirnya filosofi sejati.
Hampir sezaman dengan kedua tokoh ini, kita menemukan orang ketiga: Lao Tzu. Terpisah dari keduanya sejauh ribuan kilometer, dia disebut sebagai pendiri Taoisme. Meskipun sering dianggap sebagai mistis, filosofi ini bukan hanya tentang para alkemis yang mengejar kehidupan kekal.
Inti dari filosofi ini adalah kesadaran. Alan Watts pernah menyebut Taoisme sebagai jalan air. Jika kita mencoba mengendalikan dunia dengan paksaan, dunia akan lari dari kita. Melainkan jadilah seperti air. Ikuti arusnya, bukan melawannya.
Jadilah air. — Bruce Lee
Untuk mengilustrasikan metafora ini, kita akan melakukan sebuah eksperimen pikiran lagi.
Sekarang bukannya berdiri di pinggir sungai, bayangkan diri kita berada di sebuah perahu dayung di tengah-tengah sungai. Kita mendayung melawan arus, tetapi yang berhasil kita lakukan hanyalah tetap berada di tempat. Arus yang terus mengalir itu terlalu kuat.
Hingga tiba saatnya, kekuatan kita habis. Air mulai membawa kita. Mungkin takdir ini tidak seluruhnya merupakan malapetaka dan kesuraman. Mungkin itu sebenarnya adalah berkah terselubung. Jauh lebih mudah mengikuti arus. Biarkan air membawa kita ke jalurnya.
Ubah Hidup Kita
Sadari bahwa hidup adalah perubahan, dan hidup kita akan berubah. Orang-orang menolak perubahan. Mereka mencoba mempertahankan stabilitas. Tidak ada hal semacam itu. Keadaan adalah sesuatu yang akan terus berubah, terus-menerus berpindah dari satu titik di masa sekarang ke titik lain di masa depan yang belum terungkap.
Meskipun dia disebut sebagai orang yang sama. Dia selalu menjadi makhluk yang baru dan mengalami proses kehilangan dan perbaikan. — Plato
Seperti apa yang Plato katakan, kita mungkin berpikir bahwa diri kita adalah orang yang sama, namun kenyataannya kita selalu berubah. Diri kita yang baru, selalu menjalani sebuah proses kehilangan dan perbaikan.
Segalanya tentang kita berubah. Dari sel kita yang selalu berganti dengan yang baru setiap beberapa tahun, sampai kepribadian kita yang menyesuaikan sepanjang hidup kita. Tidak ada yang permanen. Semuanya berganti.
Pengamatan Heraclitus bahwa kita tidak akan pernah melangkah di sungai yang sama sebanyak dua kali sudah tepat. Bagian kedua dari frasa itu menjelaskan kenapa seperti itu. Karena baik sungai maupun manusianya, keduanya sudah tidak sama.