Meskipun kita hidup di era dengan standar hidup tertinggi dalam sejarah umat manusia, meskipun kita memiliki akses yang mudah ke berbagai kebutuhan utama kita. Namun berdasarkan catatan riset belakangan ini menjelaskan bahwa manusia modern lebih banyak yang depresi, sengsara, tertekan, dan diliputi kecemasan. Lebih dari sebelumnya.
Menurut catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2018), prevalensi gangguan emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas, meningkat dari 6% di tahun 2013 menjadi 9,8% di tahun 2018. Kasus depresi dan bunuh diri meningkat, terutama di kalangan pemuda yang merupakan generasi penerus bangsa. Lalu sebuah pertanyaan mencuat: Kenapa?
- Kenapa banyak orang depresi di era dengan kemungkinan tak terbatas ini?
- Kenapa begitu banyak orang cenderung merasa cemas di zaman teraman dan termakmur dalam sejarah?
- Dengan potensi tak terbatas untuk mengubah dan menentukan takdir kita sendiri, mengapa begitu banyak dari kita yang cemas dan marah serta dilanda rasa tak berguna yang menyiksa?
Sigmund Freud mendefinisikan depresi sebagai kemarahan yang mengarah ke dalam diri kita sendiri. Memang ada beberapa sedikit kebenaran tentang hal ini, tetapi ada sebuah ungkapan yang bisa dikatakan lebih akurat untuk menjelaskan apa itu depresi. Psikologis Rollo May menjelaskan bahwa depresi adalah ketidakmampuan untuk membangun masa depan.
Dan kecemasan datang begitu saja, seperti yang diungkapkan oleh Rollo May, "tidak dapat mengetahui dunia dimana kita berada, tidak dapat menyesuaikan diri dengan keberadaan kita sendiri."
Saat ini, banyak orang tersesat, bingung dalam kehidupannya sendiri dan banyak yang meyakini bahwa mereka tidak mampu membangun masa depannya sendiri. Banyak yang merasa tidak berdaya, atau dalam ungkapan dari Jean-Paul Sartre, kita merasakan "penderitaan kebebasan". Dengan kata lain,
Manusia dikutuk untuk bebas; karena setelah terlahir ke dunia, dia bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Carl Jung, salah satu psikoterapis yang paling produktif di abad ke-20, mengemukakan bahwa sekitar sepertiga dari kasusnya menderita "tidak ada neurosis yang dapat dijelaskan secara klinis, melainkan karena ketidakberdayaan dan kehampaan hidupnya. Ini dapat didefinisikan sebagai neurosis umum di zaman sekarang."
Apa yang terjadi terhadap masyarakat modern sehingga keadaan ini begitu meluas?
Mungkin itu karena kita tidak perlu berjuang atau mengerahkan tubuh kita untuk bertindak demi bertahan hidup lagi, sehingga menyisakan banyak waktu luang untuk tinggal di dalam kepala kita sendiri.
Mungkin itu karena kesulitan dan hal berbahaya telah dihilangkan dari kehidupan sehari-hari kita dan kita sudah tidak perlu lagi untuk membuktikan kemampuan kita dan bersatu untuk mengatasi malapetaka.
Mungkin kurangnya kesulitan membuat kita kehilangan makna dan tujuan.
Mungkin karena kita telah dikondisikan untuk hidup di balik topeng budaya dan kita tidak pernah mengembangkan nilai keberadaan kita sendiri.
Mungkin karena kita adalah produk dari polarisasi media propaganda yang merusak kecerdasan kita dengan salah menyajikan informasi sebagai sampah yang dilebih-lebihkan.
Mungkin karena kita percaya pada kebohongan besar bahwa status adalah hal yang penting dan bahwa rumah yang besar, mobil dan liburan mewah adalah cara untuk berbahagia.
Mungkin karena kita telah kehilangan hubungan yang sebenarnya dengan bumi kita, dan sebaliknya malah menghabiskan hari-hari kita di dalam bilik kerja ber-AC duduk di depan layar, serta bergosip sebagai cara untuk memproyeksikan kesedihan kita sendiri kepada orang lain.
Mungkin karena penglihatan kita terlalu sempit dan telah dibutakan, terjebak di celah kecil persepsi kita yang terbatas. Mungkin karena kita melihat dengan pandangan mata cacing, bukan dengan pandangan mata burung, sehingga dunia tampak suram.
Mungkin karena kita menekan naluri alamiah kita demi menyesuaikan diri dengan standar budaya dan masyarakat yang kaku.
Mungkin karena kita hanya duduk dan menunggu Tuhan untuk memberi kita kehidupan yang kita inginkan, bukannya mengambil jalan yang sulit untuk bekerja dan berjuang mencapainya.
Mungkin karena teknologi, dengan beragam manfaatnya, juga berperan sebagai penyangga antara kita dan alam; sebuah tembok yang memisahkan kita dari dimensi pengalaman manusia yang lebih mendalam.
Meskipun kita semua terhubung lebih dari sebelumnya, tetapi kita juga terpisah-pisah, lebih kesepian, dan lebih cenderung untuk marah, tidak seperti sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Manusia berevolusi untuk bekerja sama dan bersatu dalam kelompok-kelompok kecil, begitulah cara kita bertahan dari hari-hari berbahaya di negara primordial kita. Kita berevolusi untuk hidup dalam suku dan komunitas kecil dan kita menemukan tujuan dalam kontribusi kita terhadap suku atau tempat kita berasal. Ini tidak lagi terjadi.
Hari ini, kita keluar dari dasar kita. Kita tidak dibuat untuk berfungsi di dalam media massa tempat kita berada. Coba kita lihat Twitter atau di bagian komentar dari berita politik dan kita akan melihat betapa marahnya kita saat ini.
Carl Jung memahami dilema ini dengan baik ketika dia menulis bahwa "bentuk keberadaan baru ini," berbicara tentang masyarakat modern, "menghasilkan individu yang tidak stabil, tidak aman, dan mudah dipengaruhi."
Jung memperingatkan bahwa jika individu diremehkan dan dikucilkan oleh masyarakat, dia rentan terhadap pengaruh negara dan gerakan massa ainnya untuk memanipulasinya untuk mengikuti agenda licik mereka. Kita dapat melihat sendiri di negara tercinta ini bahwa fenomena ini dapat kita lihat dengan jelas.
"Semakin besar kerumunan, semakin diabaikan individu," seperti yang diingatkan Jung kepada kita.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kecerdikan dan usaha yang besar kita telah menciptakan sebuah peradaban yang sangat makmur, nyaman, dan terus berkembang dengan pesat. Tetapi di sisi lain dari budaya kenyamanan ini adalah, seperti yang dipahami oleh Colin Wilson dan banyak pemikir besar lainnya, hal itu menurunkan derajat manusia. "Kehidupan yang nyaman menurunkan daya tahan manusia sehingga ia tenggelam dalam kemalasan yang memalukan."
Apa yang harus kita lakukan?
Bagaimana kita dapat mengatasi perangkap kekosongan dan "kemalasan yang memalukan" dan memanfaatkan potensi penuh kita sebagai manusia?
Kita tidak tahu jawaban lengkapnya. Hanya masing-masing dari kita sebagai individu yang tahu jawabannya menurut versi kita sendiri. Namun kita dapat memilih beberapa pemikiran para pemikir besar dan lihat apa yang mereka katakan tentang menjalani hidup dengan tujuan dan semangat.
1. Merelakan / Mengikhlaskan
Joseph Campbell mengingatkan kita bahwa,
Kita harus rela melepaskan kehidupan yang kita rencanakan agar memiliki kehidupan yang sudah menunggu kita.
Begitu kita melihat bahwa cara hidup kita tidak memenuhi hasrat kita, kita bisa mengubah arah. Kita harus menemukan lagi siapa diri kita sebelum budaya membentuk kita menjadi seperti sekarang ini. Dan ya, itu akan menyakitkan. Itu akan menggoncang segalanya. Dan kita akan menemukan diri kita berjalan dengan sudah payah melalui jalan berbahaya yang tidak diketahui, tetapi kita harus tetap berjalan.
Seperti apa yang dipahami Carl Jung, "Tidak ada kesadaran tanpa rasa sakit."
2. Merangkul Kesulitan
Dunia ini menghancurkan kita semua. Gunakan penderitaan sebagai fondasi untuk membangun diri kita yang baru. Seperti apa yang ditulis oleh Rollo May,
Penderitaan adalah cara alam untuk menunjukkan sikat atau cara berperilaku yang salah... setiap momen penderitaan adalah kesempatan untuk berkembang. Orang-orang harus bersukacita dalam penderitaan, terdengar aneh, karena ini adalah tanda ketersediaan energi untuk mengubah karakter mereka.
Seperti apa yang dikatakan oleh Charles Bukowski, kita harus matI beberapa kali untuk benar-benar hidup.
3. Menjadi Sadar
Colin Wilson pernah menulis,
Dunia sehari-hari telah menyeret kita, seperti budak di belakang kereta pertempuran sang penakluk. Seseorang harus belajar untuk memutuskan tali, untuk membiarkan pikiran tetap tenang, untuk menyadari keterkaitannya dengan gunung dan batu.
Dengan kenyamanan dan kemudahan modern saat ini, muncullah kemalasan dan keterikatan pada hiburan murah dan drama yang sepele. Hal ini menyebabkan kesadaran kita menjadi berkabut juga lamban dan kita melewati sebagian besar hari-hari kita seperti robot, hampir tidak dapat mengingat apa yang kita lakukan pagi tadi. Segalanya telah menjadi rutinitas yang mudah dilupakan dan kemudian mati.
Namun seperti apa yang Alan Watts pernah katakan,
Ini adalah rahasia hidup yang sebenarnya — untuk sepenuhnya terlibat dengan apa yang kita lakukan di sini dan saat ini. Dan daripada menyebutnya sebagai bekerja, sadari itu adalah sebuah permainan.
Kita harus belajar mematikan robot di dalam diri kita dan meningkatkan tingkat kesadaran kita. Dan kita bisa melakukan ini dengan melibatkan diri kita ke dalam pengalaman baru, melalui petualangan, dengan bahaya, dengan mematikan berita dan membaca buku dari penulis kebat.
Kesimpulan
Kita hanya bisa mengingatkan satu sama lain bahwa untuk dapat hidup di saat seperti sekarang ini adalah sebuah keajaiban. Dan itu cepat berlalu karena kita akan mati. Setiap nafas yang kita hembuskan adalah satu nafas mendekati kematian. Apakah kita akan memanfaatkan kehidupan yang telah diberikan kepada kita ini? Atau apakah kita akan menjadi korban jenis "kemalasan yang memalukan" yang menelan sebagian besar orang? Kita sendiri yang tentukan.
Online Casino Sites | Play with Cash - ChoEgoCasino
BalasHapusChoEgoCasino.com is an online Casino for 인카지노 Real Money that offers 1xbet online casino games. They offer slots, 카지노 roulette, blackjack, poker, bingo,