Untuk mereka yang berkorban untuk orang lain sering disebut-sebut sebagai pahlawan. Seorang dermawan banyak dipuji karena cenderung memikirkan orang lain terlebih dahulu. Berapa kali kita mendengar seseorang disebut berhati malaikat karena penghormatannya terhadap kebutuhan orang lain?
Adalah hal yang manusiawi untuk mendapatkan perasaan hangat ketika kita melihat seseorang memberi sesuatu kepada orang lain. Ini adalah tindakan mulia. Bahkan di otak kita sudah tertanam sejak dahulu untuk menjadi dermawan.
Sebuah postingan di situs Cedar-Sinai menjelaskan fakta ilmiah terciptanya kebahagiaan ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain. Hormon oksitosin yang dikeluarkan di dalam otak ketika kita memberi kepada orang lain menciptakan perasaan hangat yang muncul baik ketika kita memberi atau melihat orang lain memberi.
Kita semua mencari jalan menuju kebahagiaan, melakukan kebaikan terhadap orang lain adalah salah satu cara yang kita tahu pasti berhasil. — Dr. Waguih William Ishak
Sama seperti memberi yang dipuji, egois dicemooh dengan kejam. Coba pikirkan sebutan negatif yang ditujukan kepada seseorang yang tidak memikirkan orang lain. Mulai dari pelit, egois, serakah, narsis, egois, kikir, selalu ingin jadi nomor satu, dan masih banyak lagi.
Jika ada salah satu dari kata-kata di atas pernah diucapkan kepada kita, hal itu akan langsung embuat diri kita bersifat defensif. Jika kita mendengar salah satu dari kata-kata di atas digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang belum pernah kita temui, kita akan langsung memiliki opini buruk tentangnya.
Namun, mengutamakan diri sendiri bukan berarti kita egois. Ada perbedaan besar antara mengutamakan diri sendiri dengan keegoisan. Seringkali kedua karakteristik ini disamakan antara satu dengan lainnya. Menjadi seseorang yang memprioritaskan diri sendiri cenderung dianggap egois oleh orang lain.
Seringkali orang-orang yang menyebut diri kita egois itu menginginkan sesuatu dari kita, seperti waktu, sumber daya, atau akses terhadap lingkungan sosial kita. Fakta bahwa kita mengutamakan diri sendiri dan tak ingin memberikan apa yang diminta bisa membuat diri kita dilabeli sebagai orang yang egois.
Orang yang menyebut diri kita sebagai orang egois bisa jadi adalah diri kita sendiri. Seperti hormon oksitosin yang dilepaskan ketika kita memberi, rasa bersalah juga dilepaskan ketika kita memilih untuk tidak memberi. Orang yang menunjuk diri kita dan memanggil diri kita sebagai egois bisa jadi adalah orang yang kita lihat di cermin.
Bahaya Menomorduakan Diri Sendiri
Cukup aneh rasanya untuk berpikir bahwa tidak mengutamakan diri sendiri adalah ternasuk hal yang merusak, namun itu bisa jadi jika kita tidak berhati-hati. Seperti yang dikatakan oleh dokter dari Cedar-Sinai dan psikolog lainnya, memberi bisa membuat diri kita merasa baik.
Sebagaimana diri kita yang bisa kecanduan dari adrenalin yang ditimbulkan oleh olahraga ekstrim atau euforia obat-obatan, kita juga bisa menjadi kecanduan untuk membantu orang lain. Hal ini tidaklah buruk keculai kita selalu menomorduakan diri kita. Pada titik tertentu, akan ada garis tipis yang memisahkan antara orang berhati malaikat dengan domba yang dikorbankan.
Dalam upaya kita dalam membantu orang lain, mungkin kita dapat secara serius mengabaikan diri sendiri dalam prosesnya. Atau bahkan mungkin kita tidak menyadarinya. Orang-orang bisa saja dengan egois memanfaatkan sifat baik kita untuk menjatuhkan kita, tetapi kita bisa saja berkontribusi untuk membantunya melakukan hal itu.
Kita sebagai makhluk sosial dan selalu ingin bersama orang lain. Saat kita membantu orang lain, mereka tentu saja ingin kita berada di dekatnya. Rasanya menyenangkan membantu orang lain, ditambah lagi perasaan menyenangkan karena merasa dibutuhkan.
Menyelesaikan permasalahan orang lain juga jauh lebih mudah dibanding menyelesaikan masalah pribadi. Ketika kita melihat kehidupan orang lain, kita tidak terlibat secara emosional. Kita bisa melihat secara rasional permasalahannya dan bisa memberikan solusi yang logis tanpa melibatkan emosi di dalamnya. Andai saja kita bisa melakukan hal tersebut terhadap masalah kita sendiri.
Ketika hormon oksitosin kita bertambah, ada perasaan memiliki, dan kemudahan menyelesaikan permasalahan orang lain, maka tak heran jika kita menomorduakan diri kita sendiri. Ketika tindakan menomorduakan diri sendiri telah menjadi cara kita untuk hidup, adalah hal yang sulit untuk menikmati hidup kita sendiri. Kita akan menjadi semacam alat bantu.
Mengutamakan Diri Sendiri Bukanlah Hal Negatif
Mementingkan diri sendiri mungkin terdengar sangat egois, tetapi ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Dalam upaya kita untuk berbuat baik, kita dapat tenggelam dalam hasrat untuk membantu orang lain. Dengan memberikan terlalu banyak bantuan untuk orang lain, mungkin kita sebenarnya telah menyakiti mereka dan diri kita sendiri.
Itu mungkin menyenangkan ketika merasa dibutuhkan dan lebih mudah menyelesaikan permasalahan orang lain dibanding permasalahan sendiri, tetapi kita tidak bisa menjalani hidupnya demi mereka. Kita juga tidak dapat membantu orang lain jika kita secara serius mengabaikan kehidupan kita sendiri dalam prosesnya. Jika kita tenggelam, tidak ada yang datang untuk menyelamatkan yang lain.
Membantu orang lain adalah hal yang hebat, namun waktu bagi diri kita bukanlah barang mewah, melainkan sebagai kebutuhan. Tanpa waktu untuk diri kita sendiri, kita akan 'kehabisan bensin', sama seperti jika kita terlalu banyak bekerja tanpa istirahat.
Sedikit mementingkan diri sendiri dalam hidup kmembuat diri kita unik dan tetap waras. Kita tidaklah egois karena menginginkan hal ini dalam hidup — bagaimanapun kita tetaplah manusia.