Tak jarang kita memilih untuk mengindari risiko karena kita takut gagal. Ya, kita semua benci gagal. Dari perspektif manusia, itu sudah jelas mengapa kita tidak ingin berada di pihak yang gagal. Karena itu terlihat buruk. Kita tidak ingin gagal karena itu akan membuat orang lain berpikir bahwa kita tidaklah kompeten dan hal itu membawa kepada suatu hal yang paling kita benci. Yaitu orang-orang tidak ada yang mau berteman dengan kita.
Sejak pertama kita masuk ke dalam sebuah lingkungan misalnya lingkungan kerja. Hal pertama yang kita lakukan adalah untuk berteman dengan orang lain. Kita sebagai manusia mengandalkan orang lain untuk merasa terhubung dan merasa aman sebagai bagian dari sebuah kelompok. Hal ini termasuk ke dalam naluri manusia yaitu melindungi diri sendiri,.
Lalu apa yang membuat kegagalan terlihat begitu buruk?
Alasan yang pertama adalah biologi kita sebagai manusia. Menurut konsep Loss Aversion, dalam diri manusia diteorikan sudah tertanam rasa menderita ketika merasa kalah dan rasa bahagia ketika menang.
Untuk sebuah organisme yang beraktivitas demi bertahan hidup, kehilangan makanan sehari dapat menyebabkan kematian, sedangkan tambahan makanan untuk sehari tidak akan menambah satu hari kehidupan (Kecuali makanan yang dapat disimpan dengan mudah dan efektif).
Jika kita tetap menjaga apa yang telah kita dapatkan, secara teori kita tidak akan jatuh di bawah posisi kita saat ini, sebuah posisi dimana kita sudah terbiasa olehnya.
Alasan lainnya adalah lingkungan kita. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Ena Inesi di London School of Economics menemukan bahwa orang-orang yang memiliki 'priviledge' cenderung tidak terlalu takut kegagalan. Ada beberapa teori di sini. Salah satunya adah karena orang yang memiliki 'priviledge' itu telah mencapai tingkat lingkungan dan status yang sudah terjamin. Dengan kata lain jika mereka gagal, mereka tidak akan jatuh terlalu dalam hingga ke titik dimana mereka tidak dapat bangkit kembali.
Dan alasan terakhir adalah kebudayaan yang juga menjadi salah satu penyebab utama mengapa kita takut gagal. Dr Mei Wang melakukan survei terhadap sebuah kelompok yang terdiri dari 53 negara yang berbeda untuk memahami seberapa besar efek kebudayaan terhadap keengganan seseorang dalam menghindari risiko. Hasilnya? Orang yang berasal dari eropa timur cenderung paling takut mengambil risiko. Dan orang dari afrika cenderung berani mengambil risiko.
Untuk individu yang berasal dari budaya kolektif terutama yang memiliki ikatan yang kuat dengan keluarga dan pertemanan cenderung lebih berani mengambil risiko. Argumen ini didasari karena jika terjadi kegagalan akibat mengambil keputusan yang berisiko, maka individu tersebut dapat mengurangi kerugian yang terjadi karena memiliki jaringan kekekeluargaan dan pertemanan yang bisa diandalkan.
Hal sebaliknya terjadi pada seorang individu yang berasal dari individu dari budaya individualistis. Mereka memiliki ikatan keluarga tak terlalu kuat dan juga teman yang tidak terlalu banyak untuk diandalkan. Jadi jika mereka mengambil keputusan yang mengakibatkan kegagalan, mereka akan merasa kurangnya jaring pengaman dan membuat kegagalan tersebut jadi terasa lebih intensif.
Kita semua adalah gabungan dari kebiasaan kita, baik maupun buruk
Banyak pilihan yang kita buat setiap harinya mungkin terasa seperti hasil dari pengambilan keputusan yang telah kita dipertimbangkan, faktanya tidak. Itu adalah kebiasaan. - William James
Untuk siapapun dari kita yang memulai kebiasaan baru. Kebiasaan adalah sesuatu yang membutuhkan waktu untuk menguasainya. Untuk kita yang pernah menguasai salah satu kebiasaan pasti tahu jebakan dan kesulitan yang disebabkan oleh kebiasaan baru. Namun sebagian besar dari apa yang kita lakukan setiap hari, memang merupakan kebiasaan.
Kebiasaan muncul karena itu merupakan cara dari otak kita untuk menghemat waktu. Jika kita menemukan cara melakukan sesuatu dan berhasil, kita telah menciptakan sebuah kebiasaan dan hanya membutuhkan sedikit kekuatan dari otak untuk memikirkannya.
Kesimpulan
Pada akhirnya, kita hanyalah makhluk yang terdiri atas kebiasaan-kebiasaan. Kebanyakan aktivitas yang kita lakukan setiap harinya dapat disebut sebagai kebiasaan.
Kita juga merupakan makhluk yang selalu ingin meminimalisir risiko sekecil-kecilnya, dan bahkan terkadang tindakan meminimalisir ini adalah cara kita secara untuk menghindar dalam mengambil keputusan yang berrisiko.
Dibanding menghindari keputusan yang berisiko, kita bisa mengambil langkah untuk meminimalisir risiko sehingga risiko tersebut dapat kita atasi. Selain itu kita juga harus berkonsentrasi terhadap keberhasilan daripada terus-menerus merenungi kegagalan yang belum tenttu akan terjadi.